Umat Islam, kini sudah tidak lagi mampu membedakan kehidupan yang nyata dan simulasi. Kita sudah menjadi pengikut “Mazhab Walt Disney”
Oleh: Ja’far Karim *
Ada film dokumenter dari Amerika tentang sekelompok orang yang menangani masalah budaya konsumtif. Film “What Would Jesus Buy?” (Apa Yang Akan Dibeli Oleh Yesus?). Cerita berpusat pada perjalanan seorang yang berperan sebagai pendeta fiktif dari “Gereja Berhenti Berbelanja”. Bersama istrinya dan kor sukarelawan, mereka berkeliling Amerika, menyerukan masyarakat agar tidak mengumbar belanja dan tidak terjerat hutang melalui kartu-kartu kredit.
Terkadang aksi mereka di pusat-pusat perbelajanaan selama “musim belanja” menjelang hari Natal, berakhir ketika “Pendeta Billy” ditahan oleh polisi. Masyarakat Amerika beruntung memiliki orang seperti ini, tetapi siapa yang maju untuk mengingatkan komunitas Muslim tentang bahaya konsumerisme seperti itu?
***
Seputuh tahun ini, budaya baca di kalangan Muslim meningkat tajam. Jutaan buku dan ribuan toko, merupakan indikasi peningkatan budaya membaca di Indonesia. Melihat peluang pasar yang meningkat, para penerbit membanjiri pasar dengan judul-judul buku yang baru. Ada yang bersifat menghibur, ada yang mengekor kepada pemahaman yang diambil dari non-Muslim, bahkan ada buku Islam yang isinya penghujatan langsung terhadap Islam.
Buku cerita pendek dan fiksi dengan cap seolah-olah “islami” berjibun banyaknya. Karena ingin dianggap “islami”, para penerbit memaksakan buku yang sesungguhnya lebih layak disebut budaya pop ketimbang Islam itu sendiri.
“Hadis for Teenagers”, “Semakin Gaul Dengan Hadis” atau “Tahzan for Broken Hearted Muslimah” adalah judul-judul yang sering disebut lebih gaul.
Namun yang jelas, buku-buku yang meminta disebut “islami” dan sebagai sumber hiburan merupakan makhluk yang baru.
Mengekor?
Dulu, sebelum gerakan ghawazul-fikri ditinggalkan untuk mengejar kebahagiaan materialistis, banyak Muslim masih curiga dan menolak karya-karya para “orientalis”. Sekarang mereka sudah mulai belajar sejarah dan prinsip-prinsip agama Islam dari mereka. Buku-buku para orientalis yang “ramah terhadap Islam” mulai memenuhi rak-rak buku, seperti karya Karen Armstrong, yang menulis tentang “Sejarah Islam Singkat”.
Kalau karya-karya para akademisi non-Muslim masih terasa berat, masih ada konsep-konsep yang lebih mudah dicerna yang ditawarkan oleh para ahli membual dari Barat, seperti film dan buku yang tenar, yaitu “The Secret”. Sebagian besar penggemarnya menerima ide sentralnya secara tidak kritis, menutup mata terhadap hal yang bisa bentrok dengan pemahaman agama. Ada beberapa Muslim sudah menulis buku yang didasarkan “Law of Attraction”, atau hukum tarik-menarik, yang menjadi konsep utama dari “The Secret”. Tidak banyak yang tahu bahwa film sukses ini adalah produksi yang dimotori oleh Esther Hicks, seorang perempuan yang mengklaim kesurupan sekelompok entitas yang menamakan dirinya sebagai “Ibrahim”.
Ada buku “Al-Qur’an, The Ultimate Secret” karya Astrid Darmawan, yang “hijrah” dari foto model ke sufisme. Juga ada “Qur’anic Law of Attraction: Meraih Harapan Dengan Energi Ilahi” oleh Rusdin Rauf. Sampul kedua buku ini dimiripkan dengan sampul dan bentuk khas dari buku laris “The Secret”. Sementara belum menemukan tanggapan yang tuntas dari segi Islam, sudah ada karya yang kritis dari pandangan Kristen, yaitu buku “There is More to the Secret”. Kesimpulannya, hukum alam yang dipaparkan dalam “The Secret” digunakan untuk mengejar tujuan hedonis dan untuk “memajukan budaya konsumerisme”.
Belum sempat membahas “The Secret”, muncul buku-buku bertema Quantum. Setidaknya, sampai hari ini, sudah terhitung ada 15 judul buku bertajuk Quantum. Ada Quantum Teaching, Quantum Doa, Quantum Ikhlas, Quantum Shalat, dll.
Entah apa para penerbit atau penulis menganggap bahwa “quantum” berarti “cepat”, tetapi upaya mereka sesungguhnya serba salah. “Quantum” sebenarnya hanya suatu ukuran (seperti “sejumlah” atau “sebidang”), dan konsep-konsep Islam seperti di atas bukan sesuatu yang enteng atau pantas dikemas sebagai semacam “spiritualitas instan”. Sepertinya yang diharapkan adalah “Quantum Omzet”. Upaya tersebut, lebih tepat sebagai usaha memperlancar urusan bisnis.
Tentu saja masalahnya di sini adalah Haq dan Baatil dicampuradukkan. Judul-judul di atas bukan karya dari kalangan mereka yang dianggap liberal, tetapi buku-buku yang dikemas sedemikian rupa untuk pangsa pasar tertentu, yaitu para Muslim “mainstream” dari kelas tengah.
Wajah Bible
Sudah terjadi sebagai peristiwa dunia, seperti non-Muslim yang membuat kartun dan film pendek yang menghujat Islam, yang dilawan begitu keras oleh komunitas Muslim. Juga terjadi reaksi keras terhadap sekte-sekte yang menyimpang dari ajaran Islam di Indonesia. Namun ada penghujatan yang terjadi secara intern di komunitas Muslim yang tidak dikritik, malah berkembang dalam berbagai bentuk. Yang dimaksud adalah ayat-ayat Al-Qur’an atau kalamatullah yang digabung dengan gambar-gambar kartun dalam bentuk komik.
Hal ini tidak dilakukan sambil lalu, tetapi dengan judul khusus, seperti “Juz ‘Amma Bergambar untuk Anak”, “Juz Amma Lengkap Bergambar”, dan beberapa versi lainnya. Sesuai judul, ayat-ayat suci dihiasi dengan gambar-gambar, yang dipaksakan untuk “menerangkan” arti dari ayat. Terkadang ini dilakukan dengan menampilkan berbagai penggambaran tentang dosa dan maksiat. Sebagian besar gambar ini tidak ada hubungan dengan ayat dan merupakan hiasan belaka.
Barangkali masih perlu diingatkan bahwa membuat gambar makhluk hidup merupakan dosa dalam Islam. Meski begitu, betapa beraninya kalau gambar yang dibuat dicetak secara lux bersama ayat-ayat Al-Qur’an, dengan tujuan meraih sedikit keuntungan di dunia yang fana ini! Kira-kira apa lagi yang dapat dikatakan untuk mengingatkan orang-orang yang masih memiliki keimanan kepada Allah SWT di dalam hatinya?
Sedemikian kasarnya penggambaran ini, sampai-sampai ada deretan gambar yang menampilkan progresi usia dari muda sampai tua. Ini diawali dengan gambar sperma [!], yang timpang dengan gambar bayi, gambar anak, dan seterusnya, di halaman ayat-ayat dari Surat At-Tariq. Jenis buku seperti ini sudah mengikuti jejak umat Kristiani, yang sudah lama mencetak versi Bible yang bergambar untuk anak-anak.
Kalau masih belum “puas”, ada seri buku lux yang berjudul “Quranku Sahabatku”. Sampulnya dihiasi dengan adegan-adegan anak-anak yang bermain, dan sama sekali tidak menampilkan ajaran atau budaya yang diambil dari Islam maupun Al-Qur’an.
Yang terahkir adalah judul yang membuat jiwa dan raga seorang Muslim menggetar, yaitu “Komik-Qu Adalah Komik Al-Quran!” Di sampulnya ada banyak gambar yang membingungkan, seperti orang yang duduk dan menonton televisi, anak yang melompati tali, murid yang duduk dengan wajah bosan, anak yang menatap Al-Qur’an sembari menggaruk kepala seperti orang bingung, dan kartun Muslimah yang berdiri di balik gunung seolah akan terbang ke langit.
Konsumerisme “Islami”
Sayangnya berkembangan pasar buku-buku Islam terlihat lebih didorong oleh keinginan untuk mencetak laba dan untuk menaikkan citra penulis ke tingkat selebritis. Menurut Patrick Haenni dan Husam Tammam, dalam artikel mereka berjudul “Islam yang Ber-AC di Mesir” (Le Monde Diplomatique, Sept. 2003), “Nilai dari tren ini jauh dari revolusioner. Alih-alih ia merupakan nilai fana dan ketidakpuasan yang penuh keputusasaan: yaitu hedonisme, kenyamanan individu dan konsumsi."
Mereka menjelaskan yang terjadi di Mesir. Di mana hijab tak lagi menunjukkan obsesi dengan identitas sebagai Muslimah, tetapi merupakan ekspresi kenyataan dari globalisasi, reformasi pasar dan konsumerisme. Ia malah sudah diambil alih oleh industri busana. Ini sudah tampak jelas dalam sebagian dagangan yang dikemas untuk pasar konsumen Islam di Indonesia. Ada perjalanan haji bersama para selebritis.
Kita sudah banyak yang tidak lagi mampu membedakan kehidupan yang nyata dari simulasi, animasi, dan semua yang virtual. Kita sering tak sadar bahwa sudah menjadi pengikut “Mazhab Walt Disney”.
* Penulis terlahir sebagai orang Amerika. Kini menjadi muslim dan menjadi warga Indonesia.
Sumber:
* Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar